Selasa, 02 Maret 2010

LITURGI EKARISTI YANG BAIK INDAH DAN BENAR

         Menurut pengamatan,  Perayaan Ekaristi itu masih diminati oleh umat. Secara kwantitatif umat masih pergi ke gereja. Meskipun bisa saja dianggap hanya rutin. Bahkan sekedar memenuhi kewajiban, dan kelayakan seorang yang beragama Katolik. Ada kesan yang belum menjadi suatu kebutuhan dengan kesadaran. Malah ada sebagian yang sekedar ikut-ikutan sekedar untuk menunjukan identitas kekatolikannya.  Bila potret ini benar, tidak heranlah kalau perayaan Liturgi Ekaristi itu dirasa kering, dingin, tidak menarik dan menjadi beban. Sikap seperti itu agaknya tidak hanya terjadi pada umat pada umumnya, namun juga pada imamnya.

            Kenyataan di atas itu bisa sebagai sebab tapi juga bisa merupakan akibat. Disebut sebab dalam arti memang liturgi tidak menarik, tidak memikat dan tidak memnuhi kebutuhan dasar umat beriman. Disebut akibat artinya bahwa kekurang pemahaman akan Liturgi Ekaristi itu sendiri yang minim yang membuat tidak menarik, kering dan tak berdaya guna. Angket  yang pernah dilakukan oleh Komlit KWI (Juli 2000) menunjukan bahwa pengetahuan dan pemahaman (know how dan know why) umat (begitu juga imamnya) mengenai Liturgi Ekaristi itu sangat memprihatinkan. Katekese yang lemah telah membuat para peraya sekedar melaksanakan upacara  tanpa penghayatan, tanpa mengerti makna dan arti secara keseluruhan perayaan termasuk juga detail dan bagian-bagian dari Liturgi Ekaristi tersebut. Belum lagi penghayatan simbol yang tidak mudah  untuk mengajarinya. Jadi pendidikan dan pemahaman Liturgi bisa dijadikan akar permasalahannya. Dalam hal ini  Komlit telah menyodorkan suatu rekomendasi kepada KWI agar menggalakkan pendidikan Liturgi para imam (calon imam), di paroki-paroki, keuskupan dan juga umat pada umumnya (ILSKI Bandung pada hakekatnya hendak mewadahi atau memenuhi kebutuhan itu).
            Permasalahan lainnya yang cukup serius adalah Liturgi Ekaristi telah kehilangan dimensi misterinya. Liturgi sudah tidak menciptakan atmosfir sakral dalam perayaannya. Karena dimensi misteri itu merupakan hakekat dari liturgi itu sendiri, oleh karenanya sangat diperlukan dan harus dikembalikan lagi. Liturgi tidak sakral, tidak “gaib” dan tidak “keramat” lagi. Liturgi Ekaristi tidak menciptakan extra quotidiana. Perayaan dirasa hambar, datar, tak menyentuh dan tidak memberi impak pada pengalaman pertemuan dengan Yang Suci.
            Liturgi Sabda juga kehilangan dimensi misterinya. Kitab Suci diproklamasikan (diwartakan) secara miskin, dangkal dan murahan. Homili yang sakramental itu, yang merupakan saat yang ilahi itu mewahyukan dirinya dan hadir di tengah-tengah umat yang sedang mendengarkan Sabda-Nya, kini kalau bukan sekedar panggung lawak yang tak lucu, juga telah menjadi forum pidato politik yang tidak profesional, yang menjadi sekedar perpanjangan koran harian yang memuat berita politik. Berita-berita yang situasional bukan perkara keabadian dan eskatologi. Umat yang rindu mendengarkan Sabda Allah dan peneguhan iman, kini dibanjiri kemuakan berita yang sudah dipaparkan dalam massmedia. Gereja menjadi sekedar aula pertemuan yng tidak menciptakan suasana extra quotidiana. Suasana yang sangat dirindukan oleh orang jaman sekarang; ruang kudus, saat kudus dan ajaran kudus. Dalam hal ini ingin kami singgung bahwa keluhan umat mengenai homili yang tak menyentuh dan tak memberi bekal spiritual cukup kentara sekali.
            Bila permasalahan liturgi terletak pada imamnya (sebagai pemimpin perayaan) yang kurang pemahaman dan pembekalan dalam pendidikannya dan  pada umatnya yang tidak berpartisipasi secara penuh dan aktif dalam perayaan Liturgi. Maka masalah itu tidakbisa ditimpakan pada ritual/liturginya, yang selama ini dijadikan kambing hitam. Ritus liturgi kita bila dirayakan sebagaimana mestinya telah memiliki karakater yang elegan, simpel tetapi jelas. Seperti kata pepatah; "buruk muka cermin dibelah". Karakter suatu ritual (yang terdiri atas tata gerak, tata kata, dan tata gelar) sifatnya selalu sama dan menjunjung tinggi nilai tradisi dan kelestarian. Semakin mentradisi semakin kuat makna spiritualnya. Tidak sangat beralasan untuk mengkutak-katik struktur dan elemen-elemen ritus Ekaristi itu.

MERUMUSKAN MAKNA EKARISTI
Kiranya dalam kesempatan ini perlu ada penjelasan mengenai ajaran resmi atau konsep resmi menengai Ekaristi. Selain perlu penjelasan tata cara tapi mendesak juga mengamati "whatness"- nya. Bukan hanya pada how nya saja.
            Tanpa mengabaikan faktor penyebab lainnya, persoalan mengenai Liturgi Ekaristi antara lain terletak pada adanya pemahaman yang keliru. Kekurang pahaman mengenai teologianya, ibarat seorang yang berangkat tanpa asal dan tujuan; asal jalan, asal melakukan tanpa mengerti apa yang dilakukan, tanpa memahami untuk apa dan mengapa ia melakukannya. Perayaan liturgi menjadi robotik.  Liturgi jatuh pada ritualisme dan formalisme. Suatu praktek yang tanpa penjiwaan dan pemahaman. Yang dilakukan hanya demi pemenuhan kewajiban yang legalistis. Dengan kata lain, saya melakukan sekedar memenuhi aturan. Liturgi menjadi sangat minimalistis.
            Memahami ajaran resmi dan yang benar mengenai Ekaristi berarti kita menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Dalam Roh mengandaikan Liturgi itu dilakukan, dirayakan dan diungkapkan  dengan segenap pikiran (tahu, mengerti), kesadaran, sepenuh perasaan dan kehendak tidak ada kepalsuan, kepura-puraan atau asal-asalan (asal bunyi dan asal gerak). Dalam kebenaran artinya sesuai dengan Liturgi yang sudah merupakan identitas ibadah Katolik. Nota bene, suatu ibadah yang sudah merupakan warisan kekayaan Gereja yang sudah diuji dalam perjalanan sejarah. Suatu Liturgi yang menunjukkan universalitas beribadat ala satu, kudus, katolik dan apostolik.

·            Pertama kita pahami bahwa Ekaristi itu sebagai titah sakral dari Yesus, «Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku ». Kita merayakan Ekaristi semata-mata karena perintah dan kehendak dari Yesus Kristus. Mentaati perintah-Nya adalah jalan keselamatan. Dengan melakukan perintah suci ini, serentak menghadirkan Kristus. Ekaristi sebagai anamnesis; kenangan yang menghadirkan. Kurban keselamatan yang diaktualisir kini dan disini. Disinilah primas dan desiderium Perayaan Ekaristi yang kita lakukan setiap saat. Yesus Kristus telah menginstitusikannya. Kenangan yang menhadirkan itu menjadi praesentia realis; «inilah Tubuh-Ku, inilah Darah-Ku ». Kerinduan mendasar manusia itu adalah ingin melihat Allah. Dalam Ekaristi yang misteri itu menjadi real dan visible. Dalam hal ini perlu memahami konsep transsubstatiatio; bahwa roti dan anggur yang dikonsekrasi oleh imam itu adalah sungguh tubuh dan darah Kristus. Ingat analogi kedelai, kecap dan tahu yang memiliki substasi yang sama tetapi wujud yang berbeda.

·         Ekaristi sebagai doa; sebagai ungkapan syukur; syukur atas penyelamatan dan penebusan. Doa yang merupakan saat glorifikasi agar dapat di-divinisasi. Atau karena telah didivinisasi maka perlu mengadakan syukuran.

·         Ekaristi sebagai kurban anak domba di salib. Kita sebagai Tubuh mistik Kristus ketika melaksanakan Perayaan Ekaristi menjadi kurban Gereja. Disebut kurban Kristus karena Doa Syukur Agung memohon agar menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Seperti yang dikatakan oleh Agustinus, bahwa Ekaristi itu adalah kurban yang tampak dari yang tampak. Ingat bahwa menurut para reformator Ekaristi itu hanyalah perjamuan, bukan kurban.

·         Ekaristi sebagai ekspresi dan ekperiensi iman, harapan dan kasih; saat mengungkapkan dan menghayati iman sebagaimana Gereja Apostolis mengimani, mencintai dan mengharap. Ekspresi dalam rupa  perayaan iman, kasih dan harapan.

·         Apakah Ekaristi bisa dipahami sebagai "tolak bala", saat "ruatan"? Ekaristi dipahami sebagai upaya melawan kekuatan jahat. Ekaristi adalah menghadirkan kembali Misteri Pakah, – yakni peristiwa penderitaan, kematian dan kebangkitan Kristus– peristiwa Kristus mengalahkan sengat si maut dan Iblis. Sebagaimana dalam 1 Yoh 3, 8; "barangsiapa yang tetap berbuat dosa,berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya. Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu seupaya Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu".

·         Ekaristi sebagai "sowan gusti". Sejajar dengan paham praesentia realis. Pengalaman pertemuan selalu penting bagi manusia termasuk dengan yang suci misteri. Secara arketipis manusia butuh ruang kudus dan waktu kudus sebagai ruang dan waktu untuk bertemu dengan yang kudus.

·         Liturgi itu apa? Liturgi itu ekspresi dan ekperiensi misteri iman, harapan dan kasih. Keutamaan teologal yang dirayakan, diungkapkan secara simbolik dalam upacara ritual dimana roh dan kebenaran memegang peranan penting. Ungkapan iman yang berdasar pada Gereja Katolik yang Kudus dan Apostolik. Jadi liturgi itu mengenal dimensi universalitasnya; bukan sekedar keseragaman, tetapi berakar pada tradisi yang benar yang telah diuji oleh sejarah.

·         Rencana strategis yang dibuat oleh Sacrosanctum Concilium itu sangat jelas. Bahwa pembaharuan liturgi itu seharusnya: memelihara, menjaga, mengusahakan agar tumbuh berkembang dalam berpartisipasi aktif (participatio actuaosa) umat dalam merayakan liturgi. Namun gagasan partisipasi aktif itu telah ditafsirkan secara sembarangan. Sekedar agar umat bersibuk diri secara fisikal maupun verbal. Dimensi keheningan, dan membantu umat agar berpartisipasi secara batin dianggap meninabobokan agar umat pulas tertidur.

·         Sacrosanctum concilium mempertegas peran dan hakekat serta kodrat masing-masing dalam perayaan liturgi. Imam adalah imam dan umat adalah umat. Seorang imam adalah perantara (pontifex jembatan) dalam dimensi katabatik dan anabatik dalam struktur dasar doa liturgi (bukan devosi) antara Allah dan umat. Contoh kasus Doa Syukur Agung (doa presidensial) yang membiarkan umat untuk mengucapkannya (dengan alasan demi partisipasi) telah menggeser peran  imam sebagai in persona Christi. Perlu diingat bahwa krisis identitas imam (yang membuat mereka meninggalkan martabat imamatnya) berawal dari kehilangan peran sesungguhnya dalam Liturgi.

·         Musik dan lagu-lagu liturgi (musik Gereja) telah diberi tempat istimewa dan integral dalam liturgi. Musik liturgi yang semestinya menciptakan atmosfir sakral, menciptakan pengalaman religius, pengalaman pertemuan dengan yang ilahi (seperti yang dimiliki oleh musik-musik gregorian), kini telah jatuh pada sentimentalitas murahan dan “mundane”, yang sekedar menciptakan nostalgia yang manusiawi bukan yang ilahi. Liturgi dibuat asala umat senang.

Liturgi terbuka untuk beradaptasi dengan “genus” kultural setempat. Alasananya karena ungkapan iman itu harus sesuai dengan bahasa pengungkapannya. Baik secara verbal maupun secara simbolik. Diharapakan seautentik mungkin. Tapi tidak berarti kehilangan sukma dan maknanya. Tidak semua hal yang berbau etnis bisa diinkulturasikan. Inkulturasi berbeda dengan sekedar kreatifitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar